Rabu, 22 Februari 2012

Agama dan Keluarga yang Sehat, Mendidik Anak Perlu Keselarasan Ucapan dan Perilaku


Sebelumnya kita telah mengulas seputar metode tepat menjalin interaksi dengan anak. Dan tentang pentingnya mencintai mereka. Sebab syarat utama dalam menjalin interaksi adalah mencintai mereka. Kecintaan terhadap anak akan mempermudah dalam mendidik dengan benar. Mengingat tanggung jawab orang tua sangat besar dalam memilih metode pendidikan anak, serta peran mereka dalam membimbing jiwa dan raga anak. Maka pada kesempatan kali ini, kita akan menyimak seputar metode medidik anak.

Jika pertanyaan seperti ini diajukan kepada Anda, putra-putri Anda mempelajari dan meniru sesuatu lewat indera penglihat atau pendengar? Bagaimana Anda akan menjawabnya? Para psikolog setelah melakukan riset dan penelitian mengatakan, penglihatan lebih mendominasi anak-anak dalam mempelajari dan meniru sesuatu dari pada pendengaran mereka. Kenyataan ini memiliki beberapa poin penting menyangkut pendidikan anak.

Poin pertama, kita harus berusaha untuk menyelaraskan antara ucapan dan perilaku, dan keselarasan ini harus terlihat dalam jati diri kita. Hal ini akan mendatangkan rasa percaya anak terhadap orang tua. Sebelum masalah lain, sikap dan tingkah laku kita harus sesuai dengan apa yang kita ucapkan. Para pakar telah melakukan berbagai penelitian menyangkut metode pendidikan, dan mereka telah mengkaji serta mengklasifikasikan metode ini.

Kita menyaksikan beragam metode yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya. sebagian keluarga menerapkan metode ekstra ketat dalam mendidik putra-putri mereka, sebagian yang lain, menerapkan metode tidak ketat dan lebih memilih jalan toleransi, sementara kelompok lain, menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan putra-putri mereka, tidak begitu ketat serta tidak meremehkan. Setelah kita mengenal tiga metode yang berbeda dalam mendidik anak, saatnya kita membahas kelebihan dan kekurangan masing-masing metode tadi.

Dalam sebuah keluarga dengan pola pendidian ekstra ketat, metode pendidikan keluarga mengikuti landasan dan pranata yang ketat dan tidak bisa ditolerir. Dalam keluarga seperti ini, seseorang berperan sebagai pemimpin dan pembuat aturan dalam keluarga. Peran ini biasanya berada di pundak sang ayah atau terkadang ibu. Dalam keluarga ini, anak-anak tidak mendapatkan semua hak-haknya, semua pranata dalam keluarga ditentukan oleh orang tua berdasarkan pertimbangan mereka sendiri tanpa melibatkan sang anak.

Seorang peneliti dari Jerman, Huffman setelah melakukan penelitian mengenai keluarga dengan pola pendidikan ekstra ketat, mengatakan, "Anak-anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan pola pendidikan ekstra ketat, biasanya mereka menjadi anak yang taat dan patuh. Tapi dalam banyak kasus, perilaku anak-anak ini sangat agresif. Mereka juga tidak begitu disukai oleh teman-teman sepermainannya, dikarenakan mereka tidak menghormati hak-hak lawan mainnya. Anak-anak dalam keluarga seperti ini biasanya bersikap apatis terhadap kritikan orang lain, dan cenderung emosional."

Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan pola pendidikan ekstra ketat biasanya tidak ambil bagian dalam kerja kelompok. Anak-anak ini biasanya tidak mandiri, kurang percaya diri, dan juga tidak kreatif. Seorang psikolog dari Iran, Syuari Nejad mengatakan, "Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan pola pendidikan ekstra ketat sekilas terlihat taat dan patuh kepada kedua orang tua, tapi pada kenyataannya mereka diliputi rasa waswas dan tidak tenang. Secara tidak sadar, mereka menganggap orang tuanya sama dengan orang yang sebaya dengannya, dan bersifat emosional saat berinteraksi dengan orang lain. Mereka akan menyakiti adik permainannya atau bahkan teman-teman yang sebaya dengannya." Para ahli ilmu perilaku mengatakan: "Pola pendidikan ekstra ketat dalam waktu yang lama akan berdampak negatif bagi anak-anak, dan anak laki-laki lebih merasakan dampak negatif ini daripada anak perempuan."

Sementara itu, keluarga yang menerapkan metode pendidikan tidak ketat dan lebih memilih jalan toleransi, memberi keleluasaan kepada putra-putrinya untuk memenuhi dan menyalurkan semua kebutuhan dan keinginan mereka. Dalam keluarga seperti ini, setiap individu diberi kebebasan dalam menyalurkan setiap keinginannya, dan orang lain tidak punya hak untuk ikut campur di dalamnya. Para pendukung metode ini berkeyakinan bahwa keinginan-keinginan seorang anak akan mendominasi dan mendasari perilaku mereka. Karena mencabut kebebasan dari seorang anak akan berdampak pada lahirnya gangguan kejiwaan dan depresi.

Menurut analisa kelompok ini, setiap keinginan adalah cerminan kebutuhan internal seseorang yang harus dipenuhi dan disalurkan pada waktunya. Lebih jauh para penggiat metode ini mengatakan, hasrat dan keinginan seorang anak merupakan indikasi serta petunjuk terbaik untuk menjamin keselamatan jiwa dan raga mereka. Dalam keluarga yang menerapkan pola pendidikan tidak ketat, anak-anak tidak diajarkan bentuk perilaku sosial. Campur tangan orang tua dalam kegiatan anak-anak sama sekali tidak berarti, dan semua anggota keluarga bisa melakukan segala hal yang mereka kehendaki.

Tentu saja, metode pendidikan anak dengan model ini juga memiliki berbagai dampak negatif dan kekurangan. Para pakar ilmu perilaku mengatakan, sikap toleransi orang tua dan kebebasan yang diperoleh oleh anak akan berdampak pada kekacauan dalam hubungan keluarga. Individu yang mengikuti segala keinginan dan hasratnya, umumnya mereka berada di alam khayalan dan jauh dari realita kehidupan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ini tidak memiliki pranata dan tujuan dalam hidupnya, mereka juga tidak merasa bertanggung jawab terhadap orang lain.

Oleh sebab itu, mereka tidak memiliki kemampuan membangun hubungan baik dengan orang lain. Meskipun anak-anak dalam keluarga ini memiliki kebebasan berfikir dan berkreasi, akan tetapi karena tidak memiliki pranata yang jelas, mereka dirundungi sejenis gangguan mental. Gangguan ini akan berdampak pada lahirnya berbagai penyimpangan perilaku dalam membangun interaksi, baik yang bersifat sosial atau individual.

Saat anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ini dilengkapi dengan berbagai sarana untuk menyalurkan keinginannya, maka mereka semakin tidak memahami arti pengorbanan dan kerja keras. Akhirnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang-orang yang lemah, dan tidak berani menghadapi tantangan. Para psikolog mengatakan, anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga ini memiliki kelemahan pendidikan moral. Hal ini akan memicu lahirnya berbagai penyimpangan dan tindakan kriminal.

Setelah kita mengkaji dua metode pendidikan yang berbeda jauh, saatnya kita mengulas metode lainnya, sebuah metode yang dilegalisir oleh Islam, yaitu sebuah metode yang lebih rasional dan ideal dalam bidang pendidikan anak. Keluarga yang menerapkan metode rasional dan ideal, membangun model pendidikan putra-putri mereka di atas landasan yang benar. Orang tua baik langsung atau tidak, senantiasa mengawasi dan mengontrol perilaku anak-anak mereka. Hal ini bukan berarti mencabut kebebasan berfikir dan berkreasi anak. Insya Allah, pada pertemuan yang akan datang, kita akan mengulas lebih jauh tentang metode ini. (IRIB Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

tyak ☺ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting